22 Desember 2008

UU BHP dan Fenomena Demonstrasi

Belakangan ini marak terjadi demonstrasi di berbagai daerah. Tema demonstrasi tersebut tidak lain adalah penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang 17 Desember kemarin disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU).

Apakah langkah pengesahan RUU BHP ini tidak terkesan tergesa-gesa? —mengingat masih banyak kontroversi yang meliputinya—. Dan apakah mahasiswa (pelaku demonstrasi) sudah benar-benar paham tentang makna atas isi dari UU BHP itu?

Implikasi

Banyak kontroversi yang terjadi terhadap adanya UU BHP. Salah satunya, ketika UU BHP tersebut diberlakukan, ditakutkan nantinya itu akan menjadi sebuah legitimasi hukum terhadap kenaikan biaya operasional dalam suatu instansi pendidikan. Sehingga apa yang menjadi keresahan selama ini (biaya sekolah mahal) akan terjadi.

Sebenarnya kapitalisme dalam dunia pendidikan sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu, bahkan sebelum UU BHP muncul ke permukaan. Namun, kini kesemuanya itu seolah mendapatkan sebuah legitimasi hukum dengan disahkannya UU BHP tersebut.

Dalam UU BHP dinyatakan bahwa, instansi pendidikan (PTN) diberikan wewenang mutlak untuk memanajemen keuangannya secara mandiri. Jika itu menjadi sebuah niat baik, tentu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika hal tersebut disalahgunakan oleh pihak terkait untuk mendapatkan laba yang tinggi. Sudah pasti yang berfungsi di sini adalah prinsip dagang. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia sama dengan suatu perdagangan. Dan yang akan menjadi korbannya tentu kaum minoritas (masyarakat kurang mampu).

Sangatlah ironis ketika pendidikan hanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat yang berduit saja. Karena bagaimana pun juga, masih banyak masyarakat kurang mampu di Indonesia yang ingin mendapatkan pendidikan namun harus kandas di tengah jalan hanya karena tersangkut masalah biaya. Menurut saya ini sudah melenceng dari cita-cita Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup, mungkin beliau akan menangis.

Evaluasi Dua Belah Pihak

Sekiranya perlu ada evaluasi dari kedua belah pihak. Pihak pemerintah seharusnya jangan tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan. Selayaknya perlu ada sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan RUU BHP —yang sebenarnya sudah dikaji sejak tiga tahun yang lalu—, sehingga masyarakat (termasuk mahasiswa) tidak mengalami kepanikan seperti yang terjadi belakangan ini.

Namun, yang membuat saya heran, ketika sebuah rapat paripurna, di mana menteri yang terkait tidak hadir, bagaimana bisa suatu rancangan tersebut menjadi sesuatu peraturan yang sah?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah —yang selama ini sering diremehkan, sehingga tidak dilaksanakan—, yakni transparansi suatu rancangan (draft) yang akan disahkan. Transparansi ini seharusnya dilakukan sebagai bentuk sosialisasi dari pemerintah terhadap masyarakat.

Pemerintah juga selayaknya memberikan sebuah jaminan hukum dan ketentuan yang jelas ketika menetapkan suatu rancangan menjadi sebuah undang-undang. Ini hanya sekedar saran klasik, “ketika ada kanan,maka ada kiri”. Maksudnya, ketika ada sebuah kebijakan, sudah selayaknya ada jaminan yang jelas yang akan menjadi counter penyeimbang.

Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Indonesia kini tengah dilanda krisis kepercayaan terhadap pemerintahnya. Sehingga banyak yang terlanjur menjadi parno terhadap segala keputusan pemerintah.

Langkah tergesa-gesa pemerintah dalam mengesahkan RUU BHP ini juga terkesan sembrono. Bagaimana tidak, ketika rancangan tersebut akan dikaji ulang —karena isinya masih belum jelas maknanya—, tiba-tiba kabar pengesahan terhadap rancangan tersebut sudah tersebar luas kemana-mana di kemudian harinya.

Evaluasi juga berlaku pada pihak mahasiswa. Pihak mahasiswa (pelaku demonstrasi) seharusnya melakukan klarifikasi dan mencermati betul tentang apa yang menjadi makna atas isi dari UU BHP tersebut. Sehingga, jika terjadi demonstrasi, para pendemo (mahasiswa) sudah paham betul dengan apa yang sedang mereka pertentangkan. Tidak hanya sekedar ikut-ikutan saja.

Bukankah mahasiswa menjadi tumpuan generasi penerus sebuah bangsa? Jika mahasiswa tidak mampu mencermati realita yang ada di hadapannya, apa yang akan terjadi ketika hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan dan membudaya? Jangan sampai cap waton melu menempel pada diri setiap warga, karena itu akan mencerminkan sebuah sikap yang tidak bertanggungjawab.

Ketidakcermatan demikian bisa kita jumpai pada Presiden BEM UI Edwin Nafsa Nauval yang tidak mampu menjawab bagian mana (pasal) dari UU BHP yang mencerminkan liberalisasi pendidikan —yang sebelumnya digembar-gemborkan—, ketika berlangsung temu muka dan tanya jawab dalam ruang sidang paripurna DPR-RI (Kedaulatan Rakyat, 18 Desember 2008). Bukankah hal ini sangat memalukan? Cermat dan teliti serta kritis menjadi penting ketika kita ingin mengubah sebuah realita, tidak hanya sekedar ber-koar-koar dengan wajah arogan.

02 Desember 2008

Estetika Baturaden

Suatu maha karya Illahi yang terletak di daerah Purwokerto, Pancuran tujuh menghadirkan sebuah nuansa alam yang seimbang, selaras, dan dalam keragaman yang tak terbatas. Rimbun pepohonan tampak hijau dan segar tersamar oleh uap air panas yang terdapat pada Pancuran tujuh. Warna yang beragam juga terlihat pada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya (pancuran tujuh), seperti tanah yang berwarna kekuningan akibat belerang yang terbawa oleh sumber air panas yang mengalir. Pegunungan yang tampak pun terlihat memiliki suatu ‘nyawa’ yang saling terikat diantara unsur-unsur pembentuk yang ada. Selain indah, Pancuran tujuh juga menawarkan kenyamanan berupa kebisingan alam yang sangat bertolak belakang dengan kebisingan kota yang terlalu banyak terkena campur tangan manusia. Kebisingan yang memberikan ketenangan ini mampu membuat suasana hati lebih ‘semeleh’. Lebih daripada itu, disini juga bisa didapatkan suatu pengobatan atau perawatan, serta peremajaan kulit dengan berendam di dalam kolam pemandian air panasnya. Meskipun banyak hal yang ditawarkan oleh objek wisata Baturaden pada umumnya, dan Pancuran tujuh pada khususnya, ada beberapa hal yang perlu disesalkan. Salah satu contoh adalah kurang terawatnya objek wisata tersebut dalam hal sarana operasionalnya, seperti: jalanannya, kebersihannya, dan masih banyak hal lainnya. Pada awalnya Baturaden/Pancuran tujuh merupakan objek wisata yang banyak diminati, meskipun jarak yang perlu ditempuh lumayan jauh. Namun belakangan ini mulai terlihat, bahwa objek wisata tersebut mulai tampak terbengkalai. Ini semua dikarenakan kurang pedulinya masyarakat yang ada terhadap karya agung yang telah diciptakan-Nya. Seharusnya kita, sebagai manusia, harus turut menjaga apa yang telah tercipta sampai titik darah penghabisan, jangan hanya mau bertindak ketika dapat untung saja, itu sama saja seperti pepatah “habis manis, sepah dibuang”. Jika memang ini yang terjadi, seharusnya kita malu terhadap diri kita sendiri, itu justru memberi nilai buruk bagi individunya, dimana jika sudah terpampang nilai buruk di dalamnya, maka secara otomatis nilai estetisnya pun akan turut berkurang. Pancuran tujuh yang secara alami telah menawarkan bermacam fungsi ini, selayaknya dijaga dan dirawat dengan segenap rasa penuh tanggung jawab. Sungguh sangat saying jika maha karya tersebut sampai rusak hanya karena ketidakpedulian para individu yang ada. Sungguh sangat biadab bila individu ‘membuang’ nya setelah kurang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Jarang bisa kita temukan keindahan dalam ketidakharmonisan yang luar biasa seperti ini. Berbagai macam warna alami bisa terlihat di sini, ketenangan yang bising juga terdengar di sini, serta keberagaman yang tak terbatas juga mampu terlukis di sini. Sudah selayaknya bahwa sesuatu yang indah itu diberikan suatu penghormatan tersendiri.

Masih Tentang Aku

Terlalu banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban….. ?????????????????????????????????????????????????????? Sedang berjalan tanpa tahu apa yang aku tuju…. ?????????----------------------------------?????????? Masih tak paham dengan yang terjadi disekitar…… ??????????????????????????????????????????????? Aku masih bingung dengan apa itu teman… ????------------------------------------------????

01 Desember 2008

Cobaan-Mu

Silau menyorot mata saat pertama melihat

Kini mulai buram karena waktu yang memaksa

Dahulu kau tampak nyata di hadapanku

Namun, semuanya t’lah berlalu…

Hanya bersisa sebagai maya dalam ‘pandangan’-ku

Ayah….

Masih setia dan ‘kan selalu kukenang…

Apa yang pernah kau berikan

Kasih sayang dan ketulusan yang dulu pernah kau selimutkan

Kini terpendam bersama jasad yang telah usang

Namun, tetap ‘kan kukenang…

Tersesat, terdampar, dan aku tersudut

Kala pertama kali kau pergi meninggalkanku

Tak sempat kusampaikan maafku!!

Tak sempat kusampaikan terimakasihku!!

Kemudian sesak memancing diri untuk berhenti bernafas walau hanya sesaat…

Ingin aku teriak…!!!

Dan ingin aku berontak atas ketidakadilan ini…!!!

Air mata berjalan melintasi pipi,

Jemari iba menutupi raut wajahku

Tuhan…

Apa yang akan Engkau berikan...?

Apa yang akan Engkau cobakan…?

Tak pernah aku tahu apa yang akan Engkau takdirkan…

Akupun hanya mampu kembali bersimpuh…

Dan bersujud di hadapan-Mu…

Takluk atas kuasa-Mu.

29 November 2008

HEY....!!!

Hey….!!!

Apa yang sedang kulakukan di sini…!?

Apakah aku hanya sekedar berjalan, berlari, dan kemudian menunggu mati…!?

Hey….!!!

Apa yang sedang kucari…..!?

Teman….????

Apakah orang yang hanya datang pada saat kita senang layak disebut teman..!!?

Apakah orang yang s’lalu meninggalkan kita saat kita membutuhkan layak disebut teman….!!!??

Hey….!!!

Apakah kita ini manusia….!?

Apakah teman itu juga manusia….!!?

Bukankah manusia adalah makhluk sosial….!?

Lalu kenapa kebanyakan dari kita selalu mengagungkan ego masing-masing…!!!?

Memuja ego demi kepentingannya sendiri…….BAJINGAN…….!!!

Realita yang kujumpai adalah banyak manusia yang memuja egonya…..BANGSAT…!!!

Hey….!!!

Benarkah kesemuanya itu….!!!!!!??

Hey….!!!

Siapapun juga, tolong beri aku,’si hina’ ini sebuah jawaban….!!!

Bahkan Tuhan sekalipun, aku juga butuh penjelasan-Mu….!!!

HAM, KAM, dan Hukuman Mati

Salah satu acara di salah satu televisi swasta mengemukakan topik menarik malam ini, mengenai death penalty yang masih berlaku di Indonesia, jelas topik ini tidak jauh dari isu yang sedang berkembang saat ini, tentang eksekusi mati Tibo cs. yang sudah empat kali ditunda (lagi) dan eksekusi para pelaku pemboman bali. Empat kelompok partisipan yang hadir adalah kelompok mahasiswa, ibu-ibu, aktivis HAM dan advokat. Intinya membahas tentang relevan atau tidaknya pemberlakuan hukuman mati di Indonesia.

Dari sudut pandang pribadi saya sangat heran mengapa putusan mati yang sudah ditetapkan oleh pengadilan bisa ditunda berkali-kali untuk alasan-alasan yang kurang masuk akal ataupun alasan-alasan yang enggan dipublikasikan. Dari sini terlihat betapa pengadilan terkesan ragu-ragu dalam menjalankan keputusan yang sudah diambil sebelumnya, konon hal ini dikarenakan daftar nama pihak-pihak yang dicurigai terkait dengan kasus kerusuhan Poso belum juga diperiksa.

Apa yang saya tulis diatas bukan bermaksud menyatakan setuju atas hukuman mati yang diberlakukan kepada siapa saja, melainkan kesadaran atas eksisnya kewajiban asasi manusia (juga), dalam hati saya tersenyum lebar ketika hakim agung Alkostar yang menjadi narasumber acara berkata bahwa "ketika kita bicara soal hak asasi manusia, kita juga harus ingat akan adanya juga kewajiban asasi manusia", tepat, ketika kita ingin hak asasi kita dihargai kita juga harus menghargai hak asasi orang lain, inilah kewajiban asasi manusia, yang sering dilupakan oleh aktivis HAM yang kadang kala tergelincir di tengah-tengah euforia penegakan hak asasi manusia, sedangkan bagi mereka yang tulus menjalani jalannya sebagai pembela hak asasi manusia tentunya enggan membela mereka-mereka yang ingin hak-hak asasinya dibela tetapi lupa menjalankan kewajiban asasinya sebagai manusia. Namun, bagaimanapun peenegakan hukum di Indonesia harus diutamakan karena hukum harus tetap bersifat apriori, tidak pandang bulu, logis dan tegas.

Terkadang masyarakat Indonesia seringkali melupakan KAM (Kewajiban Asasi Manusia). Hal tersebut dapat kita lihat dari bagaimana para aktivis seringkali berkoar-koar mengenai penegakan HAM (Hak Asasi Manusia), akan tetapi mereka sering melupakan bahwa kewajiban asasi manusia seringkali tidak dianggap. Apabila kita melihat bahwa para terpidana hukuman mati di Indonesia merupakan pihak-pihak yang bukan saja telah melupakan HAM, namun juga telah melanggar KAM yang paling dasar “Janganlah melanggar hak asasi orang lain”.

Jikalau Amrozi dkk. terbukti sebagai pelaku bom Bali, matilah dia, hal yang sama juga harus berlaku untuk Tibo dkk., jikalau ia terbukti sebagai dalang kerusuhan Poso, matilah dia, jikalau siapapun terbukti mengambil hak asasi orang lain untuk hidup matilah dia, jikalau pembunuhan telah direncanakan terlebih dahulu, eksekusi mati adalah ganjaran yang pantas, jikalau terjadi secara tanpa rencana, hukuman seumur hidup saya rasa cukup, setidaknya ia tidak boleh berkeliaran di masyarakat. Seseorang yang berani mengambil hak hidup orang lain bagi saya tidak lebih dari orang gila yang bermimpi menjadi Tuhan, satu-satunya yang berhak memberi dan mengambil hak hidup setiap manusia.

Manusiawikah hukuman mati? Jelas, di banyak negara-negara maju, hukuman mati adalah mutlak bagi pelaku pembunuhan tingkat satu, yaitu pembunuhan berencana dengan catatan "cukup waras untuk didakwa", sedangkan bagi mereka yang terbukti tidak sehat secara akal dan pikiran sering ditempatkan di penjara-penjara khusus atau mental institution yang terisolasi. Satu hal yang menarik, akhir-akhir ini korupsi turut dimasukkan ke dalam daftar tindak pidana yang pantas diganjar hukuman mati, pantas? Jelas. Merugikan negara adalah juga turut merugikan seluruh warga negara yang terlibat di dalamnya, terencana? Ya. Merugikan hajat hidup orang banyak? Ya. Waras? Jelas. Dan jika checklist ini sudah lengkap, hukuman mati adalah...pantas, saya rasa hkuman mati juga bermanfaat untuk mengurangi kepadatan penduduk Indonesia yang semakin lama menjadi semakin sesak.

HAM, KAM, dan hukuman mati merupakan suatu masalah yang akan terus menjadi persoalan di Indonesia. Semoga saja tulisan ini dapat menjadi pertimbangan dan menyadarkan kita bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga memiliki kewajiban asasi yang perlu dipertanggungjawabkan.

28 November 2008

Bimbangku dalam Sepi

Sepi...

yang kurasakan dalam hidupku kini.

Kucoba terbang.....

membelai angan.....,

dan memeluk angin......

namun aku justru terhempas pada naungan kegelapan.

Kudengarkan sayu langkah kaki pujangga muda dalam ketulianku...

menyisakan jejak serpihan hati yang terluka.

Kemudian…..kudengar cacian mencela terhadap 'dunia'...!

PERSETAN....!!!!

Persetan dengan kalian yang memuja keangkuhan..!!!

Persetan dengan kalian............

yang mengagung-agungkan kesempurnaan dalam wadah kemanusiaan..!!

Aku memberanikan diri 'tuk mendongak menatap langit senja

dari sisi kehinaanku......

ADA APA 'DENGANMU'..!!!??

Kemana indah jingga yang dulu pernah ada..!!?

Apakah tak 'kau' izinkan aku menatap kembali jinggamu..!!?

Ataukah aku harus memandangmu dengan 'kebutaanku'..!?

APA MAUMU........!!!!

hhhh..hhh..hh..

Kini.....sudah tak terlihat lagi punggungmu...

bahkan tak mampu lagi aku melihat ujung bayangmu...

Sekarang yang tersisa hanyalah sebuah kehampaan

Dan kebimbanganku memaksaku untuk terbenam, dalam kegelapan...

yang aku sendiri tak tahu kapan akan menemukan setitik cahaya syurga...

untuk membimbing arahku....

meresapi bimbangku dalam sepi....

27 November 2008

Persoalan Ruang, Gerak, dan Waktu

Pembicaraan ruang, gerak dan waktu memiliki perspektif yang cukup luas. Di antara para filsuf pun memaknainya secara beragam. Di satu sisi, ada ilmuwan atau filsuf yang memaknai hakikat ruang, gerak dan waktu itu sebagai realitas riil, objektif. Namun di sisi lain, ada juga yang memaknai bahwa ruang dan waktu itu hanya ilusi. Pengertian tentang ruang bisa dijelaskan dengan tiga teori. Pertama, bahwa ruang adalah suatu realitas tersendiri, suatu jenis wadah di mana menjadi kan tempat bagi materi yang ada, sehalus apapun materi tersebut. Kedua, teori yang menyangkal bahwa ruang memiliki realitas tersendiri. Adalah suatu fakta jika benda dalam ruang adalah hasil dari pengaturan panca indera kita. Ruang adalah bentuk pengambilan realitas dari perspektif kita. Ketiga, teori yang menyatakan bahwa ruang merupakan realityas dari dimensi spacial, tetapi menyangkal ruang sebagai eksistensi bebas dan terpisah. Gerak, merupakan proses aktualisasi di mana letaknya berada di antara potensi dan tindakan. Gerak di sini memiliki peranan sebagai penghubung antara ruang dan waktu. Meskipun ruang dan waktu itu berbeda, namun keduanya saling berhubungan. Adapun waktu, merupakan sebuah kontinuitas yang terus-menerus dan tak terbatas. Sifatnya pun sangat subjektif, karena waktu manusia yang satu belum tentu benar bagi waktu manusia yang lainnya.

Ruang dan waktu bukan dua data yang benar-benar terpisah antara satu dengan yang lainnya. Namun, keduanya bersifat relatif, tergantung seseorang yang mengamati ssesuatu tersebut. Seperti halnya ruang, waktu pun tidak bisa dipisahkan dari gerak, karena gerak adalah hubungan antara ruang dan waktu. Waktu merupakan satuan yang berubah-ubah, satu sama lain tidak dapat diperbandingkan kecuali dengan memakai suatu dasar sistem yang dapat menjelaskan hubungan antara satu kejadian dengan kejadian yang lain. Tetapi hal ini tidak mungkin, karena transformasi yang tercepat di alam ini tidak sanggup membuat persamaan waktu di seluruh penjuru alam.

26 November 2008

Kenang-ku

Pandangan pertama kejutkan hati

Pesonamu lelapkan hariku dalam asmara,

Yang t’lah lama aku nantikan

‘Musim semi’ tiba sebarkan aroma wangi bunga

Mengajak merpati putih ‘tuk kepakkan sayapnya melukis angkasa

Dan menyiulkan nyanyian para dewa di istananya

Berhias cerahnya mentari fajar

Aku menengadah menatap langit

Teringat senyum yang pernah engkau berikan

Akan aku nanti…

Semampuku ‘kan ku jaga rasa yang tumbuh bersama pergantian musim ini.

Pendidikan ala Mazhab Pendidikan Kritis

Pendidikan merupakan sarana manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan juga ilmu yang terdapat di dalamnya. Berbicara tentang pendidikan, maka akan ditemukan kata kunci lain, yakni Manusia.

Manusia di sini memiliki peranan sebagai subjek (pelaku pendidikan) yang sebenarnya bisa saling melengkapi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya —pendidikan adalah oleh dan untuk manusia—. Sehingga dalam setiap interaksi di antara sesamanya mampu tertemukan pengetahuan baru.

Pendidikan itu ada dalam rangka pengembangan potensi kemanusiaan ke arah yang lebih positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia dapat meningkat dan mengembangkan seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga menjadi manusia yang relatif lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi. Sehingga nantinya dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Membahas tentang pendidikan, tidak lepas dari peran sarana (tempat) untuk mendapatkannya dan juga sistem yang melekatinya, antara lain: TK (taman kanak-kanak), sekolah (SD, SMP, SMA), perguruan tinggi, dan sebagainya. Ini sudah ada sejak zaman klasik, modern, hingga kini (kontemporer). Di mana di dalam sarana-sarana tersebut sering dijupai peran serta (baca: campur tangan) pemerintah dengan segala otoritasnya. Saya mengambil Tanah Tumpah Darah sebagai contoh, yakni Indonesia.

Pada dasarnya sekolah merupakan tempat (secara formal) bagi semua manusia (tanpa terkecuali) untuk mendapatkan pendidikan yang diperlukannya. Tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal, dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normatif dengan praktek di lapangan.

Namun, fakta menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, paradoks, dan kontradiktif.

Di satu sisi, sekolah dilandaskan untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada praktiknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleransi, dan multi-kulturalisme.

Sekolah mempunyai selogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada praktiknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan kapital. Sekolah mempunyai visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada praktiknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, utamanya kaum difabel. Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam praktiknya hanya mengakomodasi anak-anak yang pintar, pandai, dan cerdas, serta kemudian mengeksklusi mereka yang punya keterbatasan intelektual. Wajah paradoksal pendidikan seperti ini harus segera diakhiri agar tidak muncul sindiran-sindiran tajam di publik, seperti “sekolah itu candu”, “orang miskin dilarang sekolah”, atau “orang bodoh dilarang sekolah”, dsb.

“Kritik” menjadi bahasa yang melekat dalam mazhab pendidikan kritis, dan bahkan mazhab ini menjadikan “bahasa kritis” dan “bahasa kemungkinan” sebagai landasan berpijak untuk mengkonstruksi bangunan epistemologi dan praksisnya. Bahasa-bahasa tersebut bisa ditemukan dalam pemikiran-pemikiran mazhab Frankfurt, Antonio Gramsci, serta Paulo Freire.

Mahzab Pendidikan Kritis

Mahzab pendidikan kritis adalah mahzab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini disebut juga aliran kiri dalam dikursus pendidikan, karena orientasi politiknya yang berlawanan dengan mahzab liberal dan konserfatif.

Mahzab ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogen namun disatukan gagasan dalam satu utjuan yang sama, yaitu memberdayakan kaum tertindas dan metransformasi ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan.

Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik yang lebih luas. Mahzab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan.

Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berlaku pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan sekolah, tapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan yang tidak hanya tertuang dalam tulisan dan kata tapi termanifestasi dalam praktek pendidikan sehari-hari.

Dalam pendidikan kritis, yang ditekankan dalam pembelajaran adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya.

Dari perspektif pendidkan kritis, sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Sekolah adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial.

Titik berangkat pendidikan kritis adalah kecintaan dan penghargaan yang tinggi terhadap manusia. Sebagai manusia, peserta pendidik dipersepsi sebagai subyek yang merdeka dan punya potensi untuk menjadi active beings, bukan sebagai obyek yang hanya bisa beradaptasi dengan dunia. Jika peserta didik diasumsikan sebagai obyek, maka pendidikan akan menjadi arena penindasan karena yang terjadi adalah proses domestikasi (penaklukan) dan penegasian kapasitas sefl-reflection peserta didik.

Dalam pendidikan kritis, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan. Dia bukan pemilik tunggal kelas. Hubungan guru-murid bukanlah bersifat vertikal (missal, majikan dengan buruhnya dalam sebuah pabrik) tapi bersifat horizontal dan eligatarian. Guru dan murid adalah sama-sama learner, subyek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam pendidikan kritis tidaklah semata-mata hak prerogative guru, kepala sekolah atau para ahli tanpa melibatkan peserta pendidik.

Pendekatan bottom-up lebih dipilih dalam mengkontruksikan isi pembelajaran atau kurikulum dengan menjadikan kehidupan peserta pendidik sebagai titik pijak atau entry point. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan lebih bermakna bagi murid dan agar mereka paham dengan realitas hidup yang sebenarnya.

Pendidikan kritis menganggap bahwa tujuan pendidikan itu adalah untuk meningkatkan kesadaran peserta didik, dari kesadaran magis dan naïf, menuju kesadaran kritis.

Dalam alam keadaan magis manusia hanya pasrah kepada kehidupan, bersikap fatalisitk dan menganggap segala sesuatunya adalah takdir yang sudah digariskan.

Dalam alam kesadaran naïf manusia mempunyai kemampuan untuk melihat persoalan tapi mereka melakukan individualisasi atau privatisasi atas masalah. Masalah dianggap berasal dari mereka sendiri, bukan dari luar mereka.

Sedangkan pada tahap kesadaran kritis persoalan lebih dipandang sebagai persoalan structural. Manusia pada tahap ini sudah mampu melihat kontradiksi-kontradiksi sosial yang terjadi di masyarakat dan melakukan kritik terhadapnya serta mampu mengubahnya menjadi lebih egaliter, adil dan manusiawi.

Sekiranya inilah yang perlu dikembangkan dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Dengan pemahaman akan pentingnya kritisisme, diharapkan para peserta didik mampu mengamati, memahami, menganalisa, serta mengubah realitas yang terdapat di sekitar mereka kelak guna menjalani kehidupan yang lebih baik. Demikan akhir dari penjelasan saya.

25 November 2008

Omong Kosong

Sering aku dengar predikatnya

Pembicaraan tanpa isi..

Pembicaraan tanpa ada sisi logika

Melainkan hanyalah pembicaraan yang penuh dengan bualan

Akankah ada cahaya…

Bagi mereka..

Bagi diriku..

Dan bagi semuanya…

Agar tersadar akan segala sandiwara.