Pendidikan merupakan sarana manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan juga ilmu yang terdapat di dalamnya. Berbicara tentang pendidikan, maka akan ditemukan kata kunci lain, yakni Manusia.
Manusia di sini memiliki peranan sebagai subjek (pelaku pendidikan) yang sebenarnya bisa saling melengkapi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya —pendidikan adalah oleh dan untuk manusia—. Sehingga dalam setiap interaksi di antara sesamanya mampu tertemukan pengetahuan baru.
Pendidikan itu ada dalam rangka pengembangan potensi kemanusiaan ke arah yang lebih positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia dapat meningkat dan mengembangkan seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga menjadi manusia yang relatif lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi. Sehingga nantinya dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Membahas tentang pendidikan, tidak lepas dari peran sarana (tempat) untuk mendapatkannya dan juga sistem yang melekatinya, antara lain: TK (taman kanak-kanak), sekolah (SD, SMP, SMA), perguruan tinggi, dan sebagainya. Ini sudah ada sejak zaman klasik, modern, hingga kini (kontemporer). Di mana di dalam sarana-sarana tersebut sering dijupai peran serta (baca: campur tangan) pemerintah dengan segala otoritasnya. Saya mengambil Tanah Tumpah Darah sebagai contoh, yakni Indonesia.
Pada dasarnya sekolah merupakan tempat (secara formal) bagi semua manusia (tanpa terkecuali) untuk mendapatkan pendidikan yang diperlukannya. Tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal, dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normatif dengan praktek di lapangan.
Namun, fakta menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, paradoks, dan kontradiktif.
Di satu sisi, sekolah dilandaskan untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada praktiknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleransi, dan multi-kulturalisme.
Sekolah mempunyai selogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada praktiknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan kapital. Sekolah mempunyai visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada praktiknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, utamanya kaum difabel. Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam praktiknya hanya mengakomodasi anak-anak yang pintar, pandai, dan cerdas, serta kemudian mengeksklusi mereka yang punya keterbatasan intelektual. Wajah paradoksal pendidikan seperti ini harus segera diakhiri agar tidak muncul sindiran-sindiran tajam di publik, seperti “sekolah itu candu”, “orang miskin dilarang sekolah”, atau “orang bodoh dilarang sekolah”, dsb.
“Kritik” menjadi bahasa yang melekat dalam mazhab pendidikan kritis, dan bahkan mazhab ini menjadikan “bahasa kritis” dan “bahasa kemungkinan” sebagai landasan berpijak untuk mengkonstruksi bangunan epistemologi dan praksisnya. Bahasa-bahasa tersebut bisa ditemukan dalam pemikiran-pemikiran mazhab Frankfurt, Antonio Gramsci, serta Paulo Freire.
Mahzab Pendidikan Kritis
Mahzab pendidikan kritis adalah mahzab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini disebut juga aliran kiri dalam dikursus pendidikan, karena orientasi politiknya yang berlawanan dengan mahzab liberal dan konserfatif.
Mahzab ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogen namun disatukan gagasan dalam satu utjuan yang sama, yaitu memberdayakan kaum tertindas dan metransformasi ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan.
Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik yang lebih luas. Mahzab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan.
Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berlaku pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan sekolah, tapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan yang tidak hanya tertuang dalam tulisan dan kata tapi termanifestasi dalam praktek pendidikan sehari-hari.
Dalam pendidikan kritis, yang ditekankan dalam pembelajaran adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya.
Dari perspektif pendidkan kritis, sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Sekolah adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial.
Titik berangkat pendidikan kritis adalah kecintaan dan penghargaan yang tinggi terhadap manusia. Sebagai manusia, peserta pendidik dipersepsi sebagai subyek yang merdeka dan punya potensi untuk menjadi active beings, bukan sebagai obyek yang hanya bisa beradaptasi dengan dunia. Jika peserta didik diasumsikan sebagai obyek, maka pendidikan akan menjadi arena penindasan karena yang terjadi adalah proses domestikasi (penaklukan) dan penegasian kapasitas sefl-reflection peserta didik.
Dalam pendidikan kritis, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan. Dia bukan pemilik tunggal kelas. Hubungan guru-murid bukanlah bersifat vertikal (missal, majikan dengan buruhnya dalam sebuah pabrik) tapi bersifat horizontal dan eligatarian. Guru dan murid adalah sama-sama learner, subyek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam pendidikan kritis tidaklah semata-mata hak prerogative guru, kepala sekolah atau para ahli tanpa melibatkan peserta pendidik.
Pendekatan bottom-up lebih dipilih dalam mengkontruksikan isi pembelajaran atau kurikulum dengan menjadikan kehidupan peserta pendidik sebagai titik pijak atau entry point. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan lebih bermakna bagi murid dan agar mereka paham dengan realitas hidup yang sebenarnya.
Pendidikan kritis menganggap bahwa tujuan pendidikan itu adalah untuk meningkatkan kesadaran peserta didik, dari kesadaran magis dan naïf, menuju kesadaran kritis.
Dalam alam keadaan magis manusia hanya pasrah kepada kehidupan, bersikap fatalisitk dan menganggap segala sesuatunya adalah takdir yang sudah digariskan.
Dalam alam kesadaran naïf manusia mempunyai kemampuan untuk melihat persoalan tapi mereka melakukan individualisasi atau privatisasi atas masalah. Masalah dianggap berasal dari mereka sendiri, bukan dari luar mereka.
Sedangkan pada tahap kesadaran kritis persoalan lebih dipandang sebagai persoalan structural. Manusia pada tahap ini sudah mampu melihat kontradiksi-kontradiksi sosial yang terjadi di masyarakat dan melakukan kritik terhadapnya serta mampu mengubahnya menjadi lebih egaliter, adil dan manusiawi.
Sekiranya inilah yang perlu dikembangkan dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Dengan pemahaman akan pentingnya kritisisme, diharapkan para peserta didik mampu mengamati, memahami, menganalisa, serta mengubah realitas yang terdapat di sekitar mereka kelak guna menjalani kehidupan yang lebih baik. Demikan akhir dari penjelasan saya.